Beruntunglah Orang yang Beriman
BERUNTUNGLAH ORANG YANG BERIMAN
Oleh
Ustadz Nur Kholis bin Kurdian
اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَالَّذِيْنَ هَادُوْا وَالنَّصٰرٰى وَالصَّابِــِٕيْنَ مَنْ اٰمَنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ اَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْۚ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَ
Sesungguhnya orang-orang Mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Shâbi’un, siapa saja di antara mereka yang beriman kepada Allâh dan hari akhir serta beramal shaleh mereka akan menerima pahala dari Rabb mereka; tidak ada kekhawatiran bagi mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. [al-Baqarah/2:62]
Sabab Nuzul Ayat
as-Suddy rahimahullah mengatakan, “Ayat ini turun membahas tentang kawan-kawan Salmân al-Fârisy Radhiyallahu anhu, waktu itu Salman menceritakan keadaan kawan-kawannya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengatakan, bahwa mereka dulu melaksanakan puasa, melaksanakan shalat, beriman kepadamu dan mereka juga bersaksi bahwa kamu akan diutus sebagai Nabi. Setelah Salman memuji mereka tersebut, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepadanya, “Wahai Salman mereka termasuk penduduk neraka”. Jawaban tersebut sangat menyedihkan hatinya, maka Allâh Azza wa Jalla menurunkan ayat tersebut sebagai jawabannya, yang pada intinya bahwa keimanan orang-orang Yahudi adalah dengan berpegang teguh terhadap Taurat dan tuntunan Nabi Musa sampai datang Isa. Ketika Nabi Isa datang, mereka yang berpegang teguh dengan Injil dan syariat Isa telah berada diatas keimanan yang sah sampai datang Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Barangsiapa tidak mengikuti Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah kedatangannya dan tidak meninggalkan syariat Nabi Isa dan Injil maka dia akan celaka. Dan diriwayatkan pula dari Sa’id bin Jubair.[1]
Korelasi Ayat Dengan Ayat Sebelumnya
Dalam ayat sebelumnya, Allâh Azza wa Jalla menyebutkan keadaan orang-orang Yahudi dan prilaku nenek moyang mereka, serta balasan yang mereka dapatkan sebagai pelajaran bagi generasi setelah mereka[2]. Allâh berfirman dalam ayat ke-61.
وَاِذْ قُلْتُمْ يٰمُوْسٰى لَنْ نَّصْبِرَ عَلٰى طَعَامٍ وَّاحِدٍ فَادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُخْرِجْ لَنَا مِمَّا تُنْۢبِتُ الْاَرْضُ مِنْۢ بَقْلِهَا وَقِثَّاۤىِٕهَا وَفُوْمِهَا وَعَدَسِهَا وَبَصَلِهَا ۗ قَالَ اَتَسْتَبْدِلُوْنَ الَّذِيْ هُوَ اَدْنٰى بِالَّذِيْ هُوَ خَيْرٌ ۗ اِهْبِطُوْا مِصْرًا فَاِنَّ لَكُمْ مَّا سَاَلْتُمْ ۗ وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ وَالْمَسْكَنَةُ وَبَاۤءُوْ بِغَضَبٍ مِّنَ اللّٰهِ ۗ ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ كَانُوْا يَكْفُرُوْنَ بِاٰيٰتِ اللّٰهِ وَيَقْتُلُوْنَ النَّبِيّٖنَ بِغَيْرِ الْحَقِّ ۗ ذٰلِكَ بِمَا عَصَوْا وَّكَانُوْا يَعْتَدُوْنَ
“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata, “Hai Musa, kami tidak bisa sabar (tahan) dengan satu macam makanan saja, oleh sebab itu mohonkanlah untuk kami kepada Rabbmu, agar Dia mengeluarkan bagi kami dari apa yang ditumbuhkan bumi, yaitu sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang putihnya, kacang adasnya, dan bawang merahnya.” Musa berkata, “Maukah kamu mengambil yang lebih rendah sebagai ganti dari yang lebih baik ? Pergilah kamu ke suatu kota, pasti kamu memperoleh apa yang kamu minta !” Lalu ditimpahkanlah kepada mereka kenistaan dan kehinaan, serta mereka mendapat murka dari Allâh. Hal itu (terjadi) karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allâh dan membunuh para nabi tanpa sebab yang benar. Yang demikian itu (terjadi) karena mereka selalu berbuat durhaka dan melampaui batas.“[al-Baqarah/2:61]
Lalu dalam selanjutnya, Allâh Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan bahwa nasab (keturunan, seperti Bani Israil maupun yang lainnya) tidak ada harganya dihadapan Allâh Azza wa Jalla . Yang berharga adalah keimanan dan amal shalih yang mensucikan ruh manusia. Oleh karena itu kaum Muslimin dan kaum Yahudi, Nasrani, Sabi’un maupun yang lainnya seperti kaum Majusi, barang siapa yang beriman kepada Allâh Azza wa Jalla dan hari akhir dengan keimanan yang sebenarnya serta melakukan amal shalih yang disyariatkan maka tidak ada rasa takut baginya setelah mereka bertaubat dan tidak ada kesedihan yang menimpa mereka disaat mereka mati.[3]
Penjelasan Ayat
Dalam ayat ini Allâh Azza wa Jalla menjelaskan bahwa para pemeluk agama itu tidak akan mendapatkan suatu keutamaan dan kebaikan kecuali jika mereka beriman kepada Allâh Azza wa Jalla dan kepada hari akhir serta melakukan amal shalih yang diridhai Allâh Azza wa Jalla . Dan termasuk amal shalih adalah beriman kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena iman seseorang tidak dianggap sah kecuali dengannya.[4]
Jika demikian keadaannya, maka baginya pahala yang besar, dan tidak ada kekhawatiran bagi mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. Adapun orang yang inkar dan kufur terhadap itu semua maka mereka akan ditimpa kekhawatiran dan kesedihan.[5]
Ada satu permasalahan yang berhubungan dengan ayat di atas, yaitu di awal ayat Allâh Azza wa Jalla berfirman إِنَّ الَّذِيْنَ آمَنُوْا dan di akhirnya Allâh berfirman مَنْ آمَنَ بِاللهِ apa maksud dari pengulangan kata iman disini ? Dalam menjawab pertanyaan ini para Ulama berbeda pendapat, setidaknya ada dua pendapat secara garis besarnya:
Pendapat pertama, yang dimaksud إِنَّ الَّذِيْنَ آمَنُوْا adalah orang-orang yang beriman dengan keimanan yang sebenarnya.[6] Kemudian mereka berselisih pendapat dalam menentukan siapa mereka itu ?
- Ada yang mengatakan, “Mereka adalah orang yang beriman di zaman fathrah (masa kekosongan rasul) dan mereka adalah para pencari agama. Pada saat yang sama mereka juga berlepas diri dari kebatilan agama Yahudi dan Nasrani, seperti Habîb al-Najjâr, Quss bin Sâ’idah, Zaid bin ‘Amr bin Nufail, Waraqah bin Naufal, Bahira Sang Pendeta, Salmân al-Farisy, Abu Dzar al-Ghifary, dan utusan al-Najâsyi.[7] Sebagian diantara mereka ada yang sempat bertemu dengan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mengikutinya sementara sebagian yang lainnya tidak bertemu. Maka seakan-akan Allâh Azza wa Jalla berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman sebelum diutusnya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta orang-orang yang dahulunya para pemeluk agama yang batil dan yang telah dirubah seperti Yahudi, Nasrani, dan Shabi’un, barang siapa yang beriman kepada Allah, hari akhir dan kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka baginya pahala di sisi Rabbnya.[8]
- Ada pula yang mengatakan, “Mereka adalah orang yang beriman dari umat ini.[9]
- Ada pula yang mengatakan, “Mereka adalah orang-orang yang beriman kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .[10]
Pendapat kedua, keimanan yang disebutkan pada permulaan ayat tersebut adalah keimanan yang tidak sebenarnya iman. Kemudian mereka berselisih pendapat dalam menentukan subtansinya ;
- Ada yang mengatakan mereka yang beriman kepada Para Nabi terdahulu dan tidak beriman kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .[11]
- Ada yang mengatakan, “Mereka itu adalah orang-orang munafik yang beriman dengan lisan mereka, akan tetapi hati mereka tidak beriman,[12] oleh sebab itu mereka di kelompokkan dengan kaum Yahudi, Nasrani dan Shabi’un.[13] Seakan-akan Allâh Azza wa Jalla berfirman, “Mereka semuanya jika beriman dengan iman yang sebenarnya maka mereka mendapatkan predikat Mukmin di sisi Allâh Azza wa Jalla .“[14]
Diantara sekian banyak pendapat tersebut, menurut penulis jika hal itu dilihat dari keumuman lafadz ayat, maka semuanya dapat saling melengkapi, dan yang demikian itu menunjukkan betapa cakupan makna ayat tersebut sangat luas. Dan jika dilihat dari kekhususan sabab nuzul (sebab turun)nya, maka yang selaras dengan sabab nuzûl ayat tersebut adalah pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan orang yang beriman di awal ayat tersebut adalah “Mereka yang beriman kepada Para Nabi terdahulu dan tidak beriman kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah beliau diutus. Karena ayat tersebut turun sebagai jawaban atas pertanyaan Salman al-Fârisy tentang kawan-kawannya yang dulunya beriman kepada para rasul dan kepada Rasûlullâh sebelum beliau diutus, akan tetapi setelah beliau diutus mereka mengingkarinya, oleh karena itu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Mereka masuk Neraka”, wallahua’lam bishshawab.
Apakah Semua Agama Sama?
Sebagian orang memahami ayat diatas dengan pemahaman yang tidak benar, mereka menganggap bahwa ayat diatas telah melegitimasikan (membenarkan) agama-agama selain Islam, artinya menurut mereka semua agama adalah sama, sehingga muncul suatu kesimpulan bahwa boleh bagi seseorang untuk memeluk Islam, esok hari masuk agama Yahudi, lusa masuk Nasrani dan seterusnya.
Pemahaman tersebut tidaklah benar, karena tidak didasarkan pada dasar pijakan yang kuat. Ayat tersebut jika dipahami secara mendalam, sama sekali tidak menunjukkan hal itu, bahkan pemahaman tersebut bertentangan dengan ayat itu sendiri, sebagaimana yang telah disebutkan oleh penulis diatas. Meskipun banyak penafsiran para Ulama tentang إن الذين آمنوا akan tetapi tidak satupun diantara mereka yang menafsirkan bahwa Islam, Yahudi, Nasrani dan yang lainnya adalah sama. Apakah para Ulama’ tafsir kurang memahami bahasa arab dengan baik dan benar ? Atau kurang mengetahui sabab nuzulnya ? Atau kurang mengetahui ayat-ayat yang lainnya yang mendukung penafsiran mereka? Atau kurang mengetahui kaidah-kaidah penafsiran ? Sehingga tidak satupun penafsiran mereka mendukung pemahaman yang dianggap benar tersebut. Semua pertanyaan itu cukup dijawab dengan jawaban singkat “tidak”!, Bahkan sebaliknya, tidak adanya penafsiran para Ulama yang sesuai dengan pemahaman tersebut adalah bukti dangkalnya pemahaman tersebut. Adapun salah satu penafsiran Ulama yang mengatakan orang yang beriman di awal ayat tersebut adalah mereka yang beriman dari umat ini atau mereka yang beriman kepada Rasûlullâh, maka hal itu sama sekali tidaklah menyamakan antara mereka dengan para pemeluk agama lainnya. Karena perintah untuk beriman bagi mereka diakhir ayat adalah perintah agar mereka tetap dalam keadaan beriman sampai akhir hayat.
Di sisi lain pemahaman tersebut juga bertentangan dengan ayat-ayat yang lainnya, diantaranya;
1. Ayat yang menunjukkan bahwa agama yang benar disisi Allâh Azza wa Jalla adalah Islam, Allâh Azza wa Jalla berfirman:
اِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَ اللّٰهِ الْاِسْلَامُ
Sesungguhnya agama yang benar disisi Allâh adalah Islam [Ali Imran/3:19]
Ibn Juraij mengatakan, “Tidak ada agama milik Allâh Azza wa Jalla kecuali Islam.”[15]
Dari Ibn Sirin dari Abi al-Rabab al-Qusyairy dalam menafsiri ayat di atas ia mengatakan, “Allâh Azza wa Jalla memerintahkan kepada manusia untuk memeluk agama Islam dan melarang mereka memeluk agama yang lain.”[16]
Dalam ayat yang lain Allâh Azza wa Jalla juga berfirman :
وَمَنْ يَّبْتَغِ غَيْرَ الْاِسْلَامِ دِيْنًا فَلَنْ يُّقْبَلَ مِنْهُۚ وَهُوَ فِى الْاٰخِرَةِ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ
Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi. [Ali ‘Imrân/3:85]
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Ayat ini menjelaskan bahwa tidak ada satu agama pun yang diterima disisi Allâh Azza wa Jalla dari seseorang kecuali Islam.[17]
Kedua ayat tersebut menunjukkan bahwa semua agama tidaklah sama, dan Islamlah agama yang benar disisi Allâh Azza wa Jalla . Barangsiapa memeluk agama selain Islam setelah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus, maka agamanya itu tidak akan diterima oleh Allâh Azza wa Jalla .
2. Bertentangan dengan ayat yang menunjukkan bahwa pemeluk agama Yahudi, Nasrani maupun kaum musyrikin adalah kafir.
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
اِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ اَهْلِ الْكِتٰبِ وَالْمُشْرِكِيْنَ فِيْ نَارِ جَهَنَّمَ خٰلِدِيْنَ فِيْهَاۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِۗ
Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) neraka jahannam, mereka kekal di dalamnya, mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk. [al-Bayyinah/98:6]
Abu Ja’far al-Thabary rahimahullah mengatakan, “sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allâh dan Rasul-Nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta mengingkari kenabiannya dari orang-orang Yahudi, Nasrani maupun orang-orang musyrik, mereka semuanya akan masuk neraka dan tinggal di dalamnya selama-lamanya.[18]
Di ayat yang lain Allâh Azza wa Jalla berfirman.
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِيْنَ قَالُوْٓا اِنَّ اللّٰهَ ثَالِثُ ثَلٰثَةٍ ۘ وَمَا مِنْ اِلٰهٍ اِلَّآ اِلٰهٌ وَّاحِدٌ ۗوَاِنْ لَّمْ يَنْتَهُوْا عَمَّا يَقُوْلُوْنَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌ
“Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan, “Bahwasanya Allâh salah satu dari tiga tuhan”, padahal sekali-kali tidak ada ilah (yang berhak diibadahi) selain Allâh Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.” [al-Maidah/5:73]
Kedua ayat diatas menunjukkan bahwa tidaklah sama antara Muslim dengan kafir.
3. Bertentangan pula dengan ayat yang menunjukkan keumuman risalah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا كَاۤفَّةً لِّلنَّاسِ بَشِيْرًا وَّنَذِيْرًا وَّلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُوْنَ
Dan Kami tidak mengutus kamu kecuali kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa kabar gembira dan sebagai pemberi peringatan, akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. [Saba/34:28]
Fakhruddin al-Razi mengatakan ayat ini menunjukkan bahwa Allâh Subhanahu wa Ta’ala menjadikan agama Islam sebagai penghapus atas agama-agama sebelumnya.[19]
Jika suatu agama telah dihapus dan dibatalkan oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala Rabb semesta alam dengan Islam, maka tidaklah pantas sebagai makhluk Allâh Azza wa Jalla mengesahkan dan membenarkan agama tersebut setelah di naskh (dibatalkan) oleh Allâh .
Pemahaman di atas juga bertolak belakang dengan fakta sejarah dakwah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengajak ahlu kitab untuk masuk Islam dengan cara mengirim surat kepada mereka. Diantaranya beliau mengutus Dihyah bin Khalifah al-Kalby untuk mengirim surat kepada raja Romawi, dan juga mengutus ‘Abdullah bin Hudzafah al-Sahmi kepada raja Persia, dan mengutus ‘Amr bin ‘Umaiyyah al-Dhamry kepada Najasyi (sebutan raja) Habasyah, dan mengutus Hathib bin Abi Balta’ah kepada al-Muqaiqis raja Mesir, dan juga mengutus Sulaith bin ‘Amr al-‘Amury kepada Haudzah bin ‘Ali al-Hanafy di Yamamah.[20]
Ini menunjukkan bahwa pemeluk agama Nasrani dan lainnya adalah bagian dari obyek dakwah yang harus diajak masuk Islam dan meninggalkan agama lama yang ia yakini sebelumnya. Karena agama mereka jika dianggap benar dan sah atau sama dengan Islam setelah diutusnya Rasûlullâh, maka untuk apa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersusah-payah mengajak mereka masuk Islam?
Pelajaran dari Ayat.
Dari keterangan diatas dapat diambil pelajaran, diantaranya;
- Para pemeluk agama samawi sebelum datangnya Islam, mereka yang beriman kepada Allâh dan hari akhir, dan tidak berbuat syirik, atau mereka yang beriman kepada Rasûlullâh setelah beliau diutus, maka mereka akan mendapatkan keberuntungan. Adapun mereka yang berbuat syirik atau beriman kepada Allâh dan hari akhir akan tetapi setelah diutusnya Rasûlullâh mereka inkar dan tidak beriman kepadanya maka mereka akan celaka.
- Islam adalah agama terakhir yang menghapus agama sebelumnya.
- Agama yang benar di sisi Allâh Subhanahu wa Ta’ala adalah agama Islam.
- Rasûlullâh diutus oleh Allâh Azza wa Jalla keseluruh lapisan umat, berbeda dengan Nabi Musa dan Isa, mereka diutus hanya kepada Bani Israil saja sebelum datanya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Bahkan Nabi Isa nanti ketika turun ke bumi ia akan mengikuti syariat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
- Paham pluralisme agama yang menyatakan bahwa semua agama sama adalah paham yang bathil dan tidak sejalan dengan ajaran Islam.
Washallallahu alaa Nabiyinaa Muhammad wa ‘ala aalihi washahbihi wasallam
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XV/1433H/2012M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, ‘Abdur Rahman bin Muhammad bin Idris al-Razy Ibn Abi Hatim (w. 327 H), Juz 1 (KSA; Maktabah Mushtafa Baz, 1419 H), hlm. 127. Lihat Asbâb Nuzûl al-Qur’an, ‘Ali bin Ahmad bin Muhammad al-Wahidy (w. 468 H), (Dammam; Dar al-Ishlah, 1992 M / 1412 H), hlm. 24. Riwayat Dari Mujahid. Lihat Lubâbun Nuqûl fi Asbâbin Nuzûl, ‘Abdur Rahman bin Abi Bakr Jalal al-Dien al-Suyuthy (w. 911 H), (Lebanon; Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tanpa tahun), hlm. 9. Riwayat Dari Mujahid. Lihat al-Durr al-Mantsûr fit Tafsîr bil Ma’tsûr, al-Suyuthy, juz 1 (Beirut; Dar al-Fikr, tanpa tahun), hlm. 128. Dari Mujahid.
[2] at-Tafsîrul Munîr fil ‘Aqîdah was Syarî’ah wal Manhaj, Dr. Wahbah bin Musthafa al-Zuhaily, Juz 1 (Damaskus; Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1418 H), hlm. 177-178. Lihat al-Bahrul Muhîth fit Tafsîr, Abu Hayyan Muhammad bin Yusuf al-Andalusy, juz 1 (Beirut; Dar al-Fikr, 1420 H), hlm. 389.
[3] Aisarut Tafâsîr li Kalâmil ‘Aliyyil Kabîr, Jabir bin Musa Abu Bakr al-Jazairy, juz 1 (Madinah Munawwarah; Maktabah Ulum wa al-Hikam, 1424 H/ 2003 M), hlm. 65.
[4] Lubâbut Ta’wîl fi Ma’âniit Tanzîl, ‘Ali bin Muhammad Abu al-Hasan al-Khazin (w. 741 H), Juz 2 (Beirut; Dar al-Kutub, 1415 H), hlm. 64.
[5] Taisîrul Karîmir Rahman fi Tafsîr Kalâmil Mannan, Abdur Rahman bin Nasir al-Sa’dy (w. 1376 H), (Bairut; Muassasah al-Risalah, 1420 H / 2000 M), hlm. 54.
[6] Lubâbut Ta’wîl, 1/50
[7] Mafâtihul Ghaib, Muhammad bin ‘Umar al-Razi (w. 606 H), juz 3 (Beirut; Dar Ihya’ Turats al-‘Araby, 1420 H), hlm. 536. Lihat Tafsir al-Qur’an, Manshur bin Muhammad Abu Mudzaffar al-Sam’any (w. 489 H), Juz 1 (Riyadh; Dar al-Wathan, 1418 H / 1997), hlm. 88.
[8] Lubâbut Ta’wîl …, hlm. 50.
[9] Zâdul Masir fi ‘Ilm al-Tafsîr, ‘Abdur Rahman bin ‘Ali Abu al-Faraj Ibn al-Jauzi (w. 597 H), Juz 1 (Beirut; Dar al-Kitab al-‘Araby, 1422 H), hlm. 72. Lihat Taisîrul Karîmir Rahmân …, al-Sa’dy, hlm. 54.
[10] Jâmi’ul Bayân fi Ta’wîlil Qur’ân, Muhammad bin Jarir Abu Ja’far al-Thabary (w. 301), juz 2 (Beirut; Muassasah al-Risalah, 1420 H/ 2000 M), hlm. 143. Lihat al-Jâmi’ li Ahkâmil Qur’ân, Muhammad bin Ahmad al-Qurthuby (w. 671 H), Juz 1 (Mesir; Dar al-Kutub al-Misriyyah, 1384 H/ 1964 M), hlm. 432. Lihat Fathul Qadîr, Muhammad bin ‘Ali al-Syaukany (w. 1250 H), juz 1 (Beirut; Dar Ibn Katsir, 1414 H), hlm. 110. Lihat Tafsîrul Manâr, Muhammad Rasyid bin ‘Ali Ridha (w. 1354 H), juz 1 (Mesir; al-Hai’ah al-Misriyyah al-‘Ammah li al-Kitab, 1990 M), hlm. 278. Lihat Tafsir al-Munir…, hlm. 178 Lihat Tafsîrul Qur’ânil ‘Azhîm, Isma’il bin ‘Umar bin Kathir (w. 774), Juz 1 (Riyadh; Dar al-Taibah, 1420 H/ 1999 M), hlm. 284. Lihat Bahrul ‘Ulûm, Nashr bin Muhammad al-Samarqandy (w. 373 H), Juz 1(tanpa disebutkan nama, tempat dan tahun cetakan), hlm. 59.
[11]al-Wajîz fi Tafsîr al-kitâb al-‘Aziz, ‘Ali bin Ahmad al-Wahidy (w. 468 H), (Beirut; Dar al-Qalam, 1415 H), hlm. 110. Lihat Lubab al-Ta’wil…, hlm. 50.
[12] Al-Kasysyaf ‘an Haqaiq Ghawamidh al-Tanzil, Mahmud bin ‘Amr al-Zamakhsyary (w. 538), juz 1 (Beirut; Dar al-Kitab al-‘Araby, 1407 H), hlm. 146. Lihat Madarik al-Tanzil wa Haqaiq al-Ta’wil, ‘Abdullah bin Ahmad al-Nasafy (w. 710 H), Juz 1 (Beirut; Dar Kalim al-Tayyib, 1419 H/ 1998 M), hlm. 94. Lihat Irsyad al-‘Aql al-Salim ila Mazaya al-Kitab al-Karim, Muhammad bin Muhammad Abu al-Su’ud (w. 982 H), juz 3 (Beirut; Dar Ihya’ al-Kitab al-‘Araby, tanpa tahun cetakan), hlm. 62.
[13] al-Jâmi’ li Ahkâmil Qur’ân…, hlm. 432.
[14] Lubâbut Ta’wîl…, hlm. 50.
[15] Jâmi’ul Bayân…,6/503.
[16] Tafsîr al-Qur’anil ‘Azhîm, ‘Abdur Rahman bin Muhammad Ibn Abi Hatim al-Razi (w. 327 H), Juz 2 (Arab Saudi; Maktabah Nizar Musthafa al-Baz, 1419 H), hlm. 617.
[17] Tafsîr al-Qur’anil ‘Azhîm …,juz 2, hlm. 25.
[18] Jâmi’ul Bayân 24/542.
[19] Mafâtihul Ghaib…, 6/523.
[20] al-Sirah al-Nabawiyah al-Shahihah, Dr. Akram Dhiya’ al-‘Umary, juz 2 (Riyadh; Maktabah al-‘Ubeikan, 1424 H/2003 M), hlm. 454.
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/40915-beruntunglah-orang-yang-beriman.html